Dalam sistem hukum pidana, ada situasi di mana seseorang dapat melakukan tindakan kriminal tanpa dikenakan hukuman. Hal ini disebabkan oleh adanya alasan penghapus pidana, yang mencakup konsep-konsep seperti daya paksa (overmacht) dan pembelaan terpaksa (noodweer). Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi perbedaan antara kedua konsep tersebut, serta contoh-contoh yang dapat membantu memahami penerapan mereka dalam praktik hukum.
Daya paksa (overmacht) adalah salah satu alasan penghapus pidana yang penting dalam sistem hukum pidana Indonesia. Konsep ini mengacu pada situasi di mana seseorang melakukan tindakan kriminal karena dipengaruhi oleh kekuatan eksternal yang tidak dapat dihindari atau ditahan. Dalam KUHP dan UU 1/2023 tentang KUHP, daya paksa dijelaskan sebagai keadaan di mana individu tersebut tidak memiliki pilihan lain selain bertindak sesuai dengan keadaan yang di luar kendalinya.
Daya paksa dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari interaksi dengan orang lain maupun dari keadaan alam. Contohnya, seseorang mungkin melakukan tindakan kriminal karena terancam oleh orang lain atau karena terjadi bencana alam yang mengharuskannya untuk bertindak. Dalam kasus-kasus seperti ini, individu tersebut mungkin tidak memiliki kesempatan atau kemampuan untuk menolak atau menghindari situasi yang memaksa mereka bertindak.
Penerapan konsep daya paksa dalam praktik hukum pidana memerlukan pengujian terhadap berbagai faktor, termasuk sejauh mana individu tersebut memiliki kontrol atas tindakan mereka, sejauh mana kekuatan eksternal tersebut dapat dihindari, dan sejauh mana tindakan tersebut proporsional dengan keadaan yang dihadapi. Hakim bertanggung jawab untuk menilai apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dilakukan di bawah pengaruh daya paksa atau tidak.
Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Pembelaan terpaksa, yang dikenal sebagai noodweer dalam hukum pidana, adalah konsep yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal sebagai respons terhadap serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan melawan hukum. Situasi ini diatur dalam Pasal 49 KUHP dan UU 1/2023.
Dalam kasus pembelaan terpaksa, individu tersebut tidak dipidana jika dapat membuktikan bahwa tindakannya dilakukan untuk melindungi diri sendiri atau orang lain dari serangan yang tidak sah. Namun, penting untuk dicatat bahwa pembelaan tersebut haruslah proporsional dengan serangan yang diterima. Artinya, tindakan yang diambil tidak boleh melebihi batas yang diperlukan untuk menanggapi ancaman yang dihadapi.
Misalnya, jika seseorang diserang oleh penjahat yang bersenjata, mereka memiliki hak untuk membela diri. Namun, tindakan yang diambil haruslah sejalan dengan tingkat ancaman yang dihadapi. Jika serangan tersebut berhenti atau jika individu tersebut melampaui batas yang wajar dalam upaya pembelaannya, mereka mungkin tetap bisa dipidana. Dalam praktiknya, pengadilan akan mempertimbangkan semua faktor yang terlibat dalam situasi pembelaan terpaksa untuk menentukan apakah tindakan tersebut dapat dianggap sebagai respons yang wajar dan proporsional terhadap serangan yang dihadapi.
Perbedaan Antara Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa
Perbedaan mendasar antara daya paksa dan pembelaan terpaksa terletak pada asal muasal tindakan kriminal. Daya paksa melibatkan pengaruh eksternal yang membuat seseorang tidak memiliki pilihan selain bertindak, sementara pembelaan terpaksa melibatkan respons terhadap serangan atau ancaman yang dekat. Selain itu, dalam kasus daya paksa, individu tersebut tidak memiliki kontrol atas situasi yang memaksa mereka bertindak, sedangkan dalam pembelaan terpaksa, individu tersebut memiliki kendali atas tindakannya dan bertindak sebagai respons terhadap serangan yang dihadapi.
Contoh Kasus
Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang penerapan kedua konsep ini, mari kita lihat contoh kasus yang relevan. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby, seorang terdakwa dibebaskan dari dakwaan penyalahgunaan narkotika karena terbukti bahwa tindakannya dilakukan di bawah pengaruh daya paksa oleh pihak lain. Di sisi lain, dalam Putusan PN Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl, seorang terdakwa dibebaskan dari dakwaan penganiayaan karena tindakannya dianggap sebagai pembelaan terpaksa untuk melindungi diri dan kehamilannya dari serangan yang tidak sah.
Kesimpulan
Dalam sistem hukum pidana, daya paksa dan pembelaan terpaksa adalah alasan penghapus pidana yang penting. Meskipun keduanya melibatkan situasi di mana seseorang melakukan tindakan kriminal, asal muasal tindakan tersebut dan respons yang diberikan merupakan faktor penentu utama dalam menentukan apakah individu tersebut dapat dipidana atau tidak.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 membahas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby
- Putusan Pengadilan Negeri Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl
Referensi:
Hukum online https://www.hukumonline.com/klinik/a/daya-paksa-dan-pembelaan-terpaksa-sebagai-alasan-penghapus-pidana-lt51bd53f7b6b00/ diakses pada 12 Juni 2024.