KETAHUI PEMBELAAN TERPAKSA MENJADI ALASAN PENGHAPUS PIDANA

Alasan penghapus pidana merupakan aturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, namun tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Pengaturan alasan penghapusan pidana dalam KUHP Indonesia yang berlaku saat ini belum secara tegas diatur mengenai ruang lingkup pembagian alasan penghapus pidana ke dalam alasan pembenar atau alasan pemaaf, sehingga timbul beragam penafsiran alasan penghapus pidana itu sendiri.

Pembelaan terpaksa atau yang disebut noodweer telah diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yakni “Tidak dipidana, barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.

Seperti yang dapat kita lihat sendiri dari bunyinya rumusan Pasal 49 ayat 1 KUHP di atas, perkataan pembelaan terpaksa itu sendiri tidak terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam pasal tersebut terdapat unsur-unsur dalam pembelaan terpaksa, yakni:

  1. serangan yang bersifat melawan hukum;
  2. bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda milik diri sendiri atau milik orang lain;
  3. keperluan untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan untuk meniadakan bahaya yang nyata telah ditimbulkan oleh serangan tersebut, yang telah tidak dapat ditiadakan dengan cara yang lain.

Perkataan “serangan” di dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP tersebut janganlah selalu harus diartikan sebagai tindak kekerasan, oleh karena yang dimaksud dengan perkataan “serangan” di dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP itu sebenarnya adalah tindakan yang merugikan kepentingan hukum orang lain atas tubuh (termasuk nyawa), kehormatan dan atas harta kekayaannya yang berupa benda. Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang membebaskan seseorang tersebut pada perbuatan pidana, namun hal ini tidak berlaku dalam perdata.

Selain diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP, Indonesia telah membuat KUHP terbaru yang disahkan pada tahun 2023 ini, yakni UU 1/2023. Pembelaan terpaksa dalam UU 1/2023 diatur dalam Pasal 34, yakni “Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancamnan serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.” Penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela badan/tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri ataupun orang lain.
  2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir.
  3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam keadaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut. Dengan kata lain, perbuatan pelaku dalam hal ini diperlukan adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional/seimbang. Dengan demikianlah tidaklah dapat dibenarkan untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong. Oleh karena perlawanan yang demikian dapat dikatakan tidak proporsional lagi.

Sebagai contoh pembelaan terpaksa tidak dapat dijatuhi pidana, yakni pada Putusan PN Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl, Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya dengan memperhatikan perbuatan terdakwa dalam kasus ini dan mencermati ketentuan Pasal 49 KUHP menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan “penganiayaan” sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Namun perbuatan terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi dilakukan karena:

  1. adanya serangan terlebih dahulu;
  2. dilakukan semata-mata untuk mempertahankan kehormatan kesusilaan pada diri terdakwa yang mana pada saat kejadian saksi telah menarik kerah baju terdakwa hingga sobek sehingga memperlihatkan bagian tubuh terdakwa yang sensitif; dan
  3. dilakukan semata-mata untuk mempertahankan kehamilan terdakwa yang pada saat kejadian berusia kehamilan empat bulan sehingga jalan satu-satunya yang dapat terdakwa lakukan adalah dengan melakukan pemukulan terhadap saksi.

Oleh karena itu, perbuatan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena didasarkan pada pembelaan terpaksa (noodweer) sesuai dengan Pasal 49 KUHP.

Kesimpulan

Pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapus pidana menjadi peraturan yang memberikan wewenang kepada hakim dalam menilai keadaan khusus seorang pelaku yang seharusnya dipidana namun tidak.

Meskipun KUHP tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “pembelaan terpaksa,” Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur bahwa seseorang tidak dipidana jika melakukan pembelaan terpaksa terhadap serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum terhadap dirinya, orang lain, kehormatan, atau harta benda. UU 1/2023 mengonfirmasi ketentuan ini. Pembelaan terpaksa memerlukan unsur serangan yang melawan hukum, bahaya langsung, dan keperluan untuk melakukan perbuatan itu guna meniadakan bahaya yang nyata.

Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang membebaskan pelaku dari tindakan pidana, namun tidak berlaku dalam perdata. Contoh kasus menunjukkan bahwa pembelaan terpaksa dapat diakui oleh pengadilan jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

Dasar hukum:

  1. KUHP
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Penulis:

TB Agung Nur Fitri, SH.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top