GUGATAN CERAI

Perceraian adalah musibah bagi hubungan suami istri yang dapat berdampak bagi kedua belah pihak dan juga kepada anak-anaknya, jika kita merujuk pada Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Bagi yang beragama islam Perceraian hanya dapat dilaukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama.

Selanjutnya masih pada Kompilasi Hukum Islam khususnya pada Pasal 116, dijelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Sakah atau pihak lain mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Mengenai gugat cerai yang mengajukan adalah pihak istri atau melalui kuasa hukumnya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal istri, kecuali pihak istri meninggalkan tempat kediaman bersama dengan suaminya tanpa izin suaminya (Pasal 132 ayat (1) KHI).

Jika pihak suami berkediaman di luar negeri, maka Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan dari pihak istri tersebut kepada pihak suami melalui perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 132 ayat (2) KHI). Adapun syarat-syarat mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yaitu:

  1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Penggugat, Jika alamat dalam KTP berbeda dengan alamat domisili maka perlu melampirkan surat keterangan domisili dari kelurahan pada domisili Penggugat.
  2. Fotocopy buku nikah;
  3. Jika Penggugat berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI dan Kepolisian;
  4. Jika Tergugat tidak diketahui keberadaannya maka perlu melampirkan surat keterangan ghoib dari kelurahan pada domisili terakhir Tergugat yang diketahui Penggugat.
  5. Surat gugatan cerai yang ditujukan kepada Ketua pengadilan Agama yang berwenang mengadili perkara tersebut.
  6. Jika melalui kuasa hukum, harus melampirkan fotocopy KTA kuasa hukum, fotocopy surat kuasa dan fotocopy Berita Acara Sumpah dari kuasa hukum yang mewakili.

Pihak istri dalam mengajukan gugatan cerai dapat menuntut hak tambahan yang dapat berupa:

  1. Nafkah terutang, yaitu jika dalam perkawinan pada waktu tertentu pihak suami tidak memberikan nafkah kepada istri, maka istri berhak meminta kepada hakim agar menghukum suami untuk membayar nafkah terutang kepada istri;
  2. Hak asuh anak;
  3. Nafkah anak hingga anak dewasa;
  4. Nafkah Idah;
  5. Nafkah Mut’ah.

Selain hak yang di atas, pihak istri dapat pula mengajukan pembagian harta bersama dalam gugatan cerai tersebut, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan atau yang biasa disebut harta gono-gini.

Kesimpulan

Gugatan cerai merupakan upaya hukum untuk memutuskan hubungan suami dengan istri, yang mengajukan gugat cerai adalah pihak istri melalui kuasa hukumnya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal istri. Dalam hal akan bercerai maka harus memiliki alasan-alasan yang kuat sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Terdapat dokumen-dokumen yang harus dilengkapi pada saat mengajukan cerai supaya memenuhi syarat formil.

 

Dasar hukum:

Kompilasi Hukum Islam

Penulis:

TB Agung, S.H.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top