KETAHUI ASAS FIKSI HUKUM DI INDONESIA

 

Menurut definisi dalam kamus hukum, fiksi atau fictio dalam Bahasa Latin dapat diartikan sebagai angan-angan, bentuk hukum, konstruksi hukum, atau bangunan hukum, yang berdiri bersama-sama dengan peraturan perundang-undangan. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa fiksi, atau fiktif, mengacu pada penerimaan sesuatu yang sebenarnya tidak benar sebagai kebenaran, atau sebaliknya, menerima keberadaan sesuatu yang sebenarnya ada sebagai ketiadaan. Dalam konteks hukum, fiksi hukum adalah prinsip yang mengasumsikan bahwa setiap individu dianggap mengetahui hukum, dan ketidaktahuan hukum tidak dapat dijadikan alasan pengampunan.

Asas ini memastikan bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum dengan dalih ketidaktahuan terhadap hukum dan peraturan tertentu. Oleh karena itu, dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, asas keterbukaan dijunjung tinggi. Dengan menerapkan teori fiksi hukum, diundangkannya suatu peraturan dianggap seolah-olah semua individu mengetahui peraturan tersebut.

Hal ini berarti bahwa pelanggar hukum tidak dapat beralasan tidak mengetahui hukum atau peraturan yang berlaku sebagai pembenaran dari tuduhan pelanggaran yang mereka hadapi. Dalam ilmu hukum, aspek penting dari asas ini adalah penyebarluasan informasi hukum untuk memastikan pemahaman dan kesadaran umum terhadap peraturan yang berlaku.

Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan yakni “Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya”.

Berlakunya asas Fiksi Hukum adalah ketika syarat-syarat mutlak penerbitan peraturan perundang-undangan tersebut telah dipenuhi, sebagai contoh untuk berlakunya Undang-Undang (UU) adalah ketika diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri / Sekretaris Negara. Tanggal mulai berlakunya suatu UU adalah berdasarkan tanggal yang ditentukan dalam UU itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam UU, maka UU itu mulai berlaku sesudah diundangkan dalam LN. Sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka setiap masyarakat sudah dianggap mengetahui peraturan atau undang-undang tersebut.

 

Fiksi Hukum diatur lebih lanjut dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 keduanya memuat prinsip yang sama yaitu “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf” serta Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”. Beberapa ilustrasi yang berkaitan dengan asas Fiksi Hukum dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:

  1. Seorang pengendara motor diberhentikan dan dikenakan sanksi oleh polisi di tengah perjalanan menuju menuju kantornya karena tidak menyalakan lampu utama pada siang hari. Pengendara tersebut mengaku tidak mengetahui adanya peraturan yang mewajibkan menyalakan lampu utama pada siang hari. Dengan mendasari pada Fiksi Hukumtentu saja pengendara motor tersebut tetap dikenakan sanksi karena tidak menyalakan lampu utamapada siang hari yaitu pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) berdasarkan Pasal 293 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
  2. Kasus pencemaran nama baik melalui media sosial dengan memberikan komentar “Comment” pada unggahan seseorang yang mengandung unsur pencemaran nama baik dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) berdasarkan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kesimpulan

Asas fiksi hukum di Indonesia mengacu pada prinsip bahwa setiap individu dianggap mengetahui hukum, dan ketidaktahuan tidak dapat dijadikan alasan pengampunan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas keterbukaan menjadi kunci, di mana diundangkannya suatu peraturan diasumsikan semua individu mengetahuinya. Hal ini mengimplikasikan bahwa pelanggar hukum tidak dapat beralasan tidak mengetahui hukum sebagai pembenaran dari tuduhan pelanggaran yang mereka hadapi. Norma asas fiksi hukum tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui peraturan perundang-undangan setelah diundangkan dalam lembaran resmi.

Keberlakuan asas fiksi hukum dapat diilustrasikan dengan beberapa putusan mahkamah, seperti Putusan MA No. 645K/Sip/1970, Putusan MK No. 001/PUU-V/2007, dan Putusan MA No. 77 K/Kr/1961, yang semuanya menegaskan bahwa ketidaktahuan terhadap undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf. Asas fiksi hukum menciptakan landasan hukum yang mengharuskan setiap individu memahami dan mengikuti peraturan yang berlaku, memastikan keadilan dan keberlakuan hukum di masyarakat.

 

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan.

Dasar hukum:

1. Putusan MA No. 645K/Sip/1970.

2. Putusan MK No. 001/PUU-V/2007.

3. Putusan MA No. 77 K/Kr/1961.

Penulis:

TB Agung, SH.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top