KETAHUI DAYA PAKSA DALAM PENGHAPUSAN PIDANA

Daya paksa dapat diartikan setiap daya, dorongan atau paksaan yang tidak dapat dilawan. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Undang-undang tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan keadaan memaksa (overmacht). Tidaklah jelas, apakah overmacht itu, apa sebab sehingga dipidana, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya.

Daya paksa menjadi penghapus pidana berdasarkan Pasal 48 KUHP, yakni Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Selain itu, dalam KUHP terbaru yakni UU 1/2023 diatur dalam Pasal 42, yakni Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena:

  1. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau
  2. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.

Daya paksa terbagi menjadi 3 (tiga) terdiri sebagai berikut:

  1. Daya paksa absolut, yakni seseorang (yang dipaksa) tidak dapat berbuat lain, artinya tidak ada pilihan lain bagi si terpaksa. Ia tidak memiliki pilihan untuk menghindari dari paksaan tersebut. Sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan atau hindari, kekuatan atau kekuasaan dari si pemaksa itu mutlak. Contohnya orang yang dihipnotis, seseorang yang bertubuh mungil kemudian dibekap oleh seseorang yang bertubuh besar dan kuat dan dihempaskan ke seseorang yang sedang lewat sehingga orang yang yang lewat mengalami luka-luka, seekor kuda atau kerbau yang menabrak seseorang sehingga terhempas ke pagar dan menyebabkan pagar itu roboh.
  2. Daya paksa relative, yakni Kekuasaan atau kekuatan orang yang memaksa tidak mutlak. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Contoh si kasir bisa saja menolak, melakukan perlawan atau melarikan diri, namun apabila melakukan hak tersebut dia bisa saja kehilangan nyawanya. Contohnya, kasir toko yang ditodong pistol untuk menyerahkan uang di brankas. Ada adagium : Apapun yang dilakukan seseorang karena ketakutan akan kehilangan hidupnya, tidak akan di hukum.
  3. Keadaan darurat, yakni Dalam KUHP memang tidak mengatur terkait dengan keadaan darurat tapi ini berkembang dalam teori hukum pidana. Banyak ahli yang berpendapat bahwa keadaan darurat masuk dalam jenis daya paksa. Bentuk-bentuk keadaan darurat:
  1. Pertentangan antara dua kepentingan,
  2. Pertentangan antara kepentingan dan kewajiban hukum, dan
  3. Pertentangan antara kewajiban yang satu dengan yang lainnya.

Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 42 UU 1/2023 disebutkan bahwa ketentuan tentang daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif, yaitu:

  1. Paksaan mutlak atau “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut.
  2. Paksaan relatif atau “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” adalah:
  1. ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan
  2. apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih dari pada kepentingan yang diselamatkan.

Selain itu, Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.

Terdapat perbedaan antara daya paksa dengan pembelaan terpaksa, yakni bahwa daya paksa (overmacht) berasal dari pengaruh luar (baik dari orang lain maupun keadaan yang memaksa seseorang di luar kemampuannya untuk melakukan tindak pidana). Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer)lebih menekankan pada pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya.

Keberlakuan overmacht maupun noodweer keduanya diserahkan kepada hakim. Hakimlah yang menguji dan memutuskan apakah suatu perbuatan termasuk lingkup overmacht ditinjau berdasarkan pada satu-persatu peristiwa.

Sebagai contoh daya paksa terdapat dalam Putusan PN Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby, Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya dengan memperhatikan perbuatan terdakwa dalam kasus ini menyatakan bahwa terdakwa III tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika karena dalam menggunakan sabu-sabu dalam keadaan dipaksa oleh tiga terdakwa yang lain, sehingga seseorang yang berada dalam pengaruh daya paksa secara fisik tidak dapat melawan kekuatan besar, maka ada alasan pemaaf yang dapat menghapus dari tanggung jawab pidana sesuai dengan Pasal 48 KUHP. Untuk itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan membebaskan terdakwa III dari segala dakwaan.

Kesimpulan

Daya paksa dalam penghapusan pidana merujuk pada setiap dorongan atau paksaan yang tidak dapat dilawan, dan undang-undang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana jika melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa. Meskipun definisi keadaan memaksa (overmacht) tidak dijelaskan dengan tegas, Pasal 48 KUHP dan Pasal 42 UU 1/2023 memberikan dasar hukum untuk membebaskan seseorang dari pidana dalam kondisi tertentu.

Daya paksa terbagi menjadi absolut dan relatif, sementara keadaan darurat dianggap sebagai bentuk daya paksa. Penting untuk diingat bahwa daya paksa berbeda dengan pembelaan terpaksa (noodweer), dengan overmacht menekankan pengaruh luar, sedangkan noodweer lebih fokus pada pertahanan diri terhadap ancaman langsung. Pengadilan memiliki peran sentral dalam menilai apakah suatu perbuatan memenuhi syarat overmacht atau noodweer.

Contoh kasus mengilustrasikan bagaimana keadaan dipaksa fisik dapat menghapuskan tanggung jawab pidana, seperti yang terjadi dalam putusan PN Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby yang membebaskan terdakwa dari dakwaan penyalahgunaan narkotika karena pengaruh daya paksa.

Dasar hukum:

  1. KUHP
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi:

Putusan PN Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby

Penulis:

TB Agung Nur Fitri, SH.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top