KETAHUI KETENTUAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERATURAN JAKSA AGUNG NOMOR 15 TAHUN 2020

 

Keadilan Restoratif menjadi suatu paradigma hukum yang semakin diakui pentingnya dalam menangani tindak pidana. Konsep ini menekankan pemulihan hubungan sosial dan pemberian kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya. Keadilan restoratif bertolak dari ide bahwa kejahatan bukan hanya melibatkan pelaku dan korban, tetapi juga komunitas. Pendekatan ini menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dan berkesinambungan, melibatkan proses dialog dan rekonsiliasi. Di era modern, keadilan restoratif mendapat perhatian karena memberikan solusi yang tidak hanya menitikberatkan pada hukuman, tetapi juga pada perbaikan dampak sosial dan emosional yang ditimbulkan oleh tindak pidana.

Prinsip keadilan restoratif mewakili suatu pendekatan dalam penegakan hukum untuk menyelesaikan perkara yang dapat berfungsi sebagai alat pemulihan. Mahkamah Agung telah menerapkan restorative justice melalui pemberlakuan kebijakan, tetapi implementasinya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum optimal.

Sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, restorative justice menekankan perubahan dari proses pemidanaan menjadi dialog dan mediasi. Proses ini melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lainnya. Tujuannya adalah menciptakan kesepakatan yang adil dan seimbang dalam penyelesaian perkara pidana, dengan fokus pada pemulihan keadaan semula dan memperbaiki hubungan dalam masyarakat.

Secara normatif restorative justice baru dinyatakan tegas dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012, tentang sistem peradilan pidana anak, dimana lembaga diversi sebagai salah satu bentuk konkret dan restorative justice, akan tetapi jauh sebelumnya mahkamah agung telah menerbitkan berbagai regulasi dalam bentuk peraturan maupun surat edaran mahkamah agung, antara lain perma nomor 2 tahun 2012, tanggal 27 Februari 2012, tentang pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam kitab undang-undang hukum pidana, Di tingkat pengadilan, perdamaian selalu dapat digunakan untuk meringankan hukuman yang akan dijatuhkan, termasuk dalam menjatuhkan pidana percobaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Perja 15/2020, Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Adapun syarat untuk melakukan restorative justice diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Perja 15/2020, yakni:

  1. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
  2. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
  3. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Selain syarat yang ada dalam Pasal 5 Ayat (1), syarat terdapat juga dalam Pasal 5 Ayat (6) Perja 15/2020, yakni:

  • telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
    1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;
    2. mengganti kerugian Korban;
    3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau
  • memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
  • masyarakat merespon positif.

Terdapat hal-hal yang dikecualikan dalam pemenuhan restorative justice, yakni termuat dalam Pasal 5 Ayat (8) Perja 15/2020, yakni:

  1. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
  2. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
  3. tindak pidana narkotika; d. tindak pidana lingkungan hidup; dan
  4. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Kesimpulan

Restorative justice menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dengan berfokus pada pemulihan dan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait lainnya. Keadilan semacam ini mengedepankan proses dialog dan mediasi, menciptakan kesepakatan yang adil dan seimbang dalam penyelesaian perkara pidana. Namun, meskipun normatif restorative justice diatur dalam undang-undang, implementasinya memerlukan pemenuhan syarat yang ketat, seperti tindak pidana dengan ancaman minimal, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana lingkungan hidup. Kesimpulannya, sementara restorative justice memberikan pendekatan yang lebih humanis, masih diperlukan upaya untuk memaksimalkan penerapannya dalam sistem hukum Indonesia.

 

Dasar hukum:

Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.

Penulis:

TB Agung, SH.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top