Pengertian utang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (uang) yang dipinjam dari dan yang dipinjamkan kepada orang lain. Sedangkan menurut ketentuan KUHPerdata utang piutang disebut dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 yang menyebutkan “Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”
Perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yakni “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Utang piutang biasanya dituangkan dalam sebuah perjanjian antar kedua belah pihak, yang didalamnya memuat mekanisme pembayaran utang, tenor, bunga dan langkah yang ditempuh jika salah satu pihak gagal menunaikan kewajiban (wanprestasi). Pada Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik, dan acapkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut melakukan perjanjian utang piutang. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Bagi suatu perusahaan, utang bukanlah merupakan sesuatu yang buruk, asal perusahaan itu masih dapat membayar kembali. Perusahaan yang seperti ini disebut perusahaan yang solvable yaitu perusahaan yang mampu membayar utang-utangnya. Sebaliknya, jika suatu perusahaan sudah tidak mampu membayar utang-utangnya lagi disebut insolvable.
Dalam hukum pidana pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang apabila seseorang melaporkan orang lain kepada pihak kepolisian karena tidak mampu membayar utang. Karena hal tersebut merupakan hak setiap orang untuk membuat laporan atau pengaduan ke polisi. Walaupun belum tentu perkara tersebut dapat diproses ke pengadilan. Namun perihal utang-piutang dalam UU 39/1999 tentang HAM, khususnya pada Pasal 19 ayat 2 diatur bahwa “Tiada seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Apabila merujuk pada Pasal tersebut maka jelas bahwa seseorang tidak dapat dipidana karena sengketa utang piutang, walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian.
Namun fakta yang sering terjadi adalah beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah justru dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan penipuan sangat berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut.
Namun dalam ketentuan hukum pidana yang diatur dalam KUHP perbuatan utang-piutang ini dapat dikenakan suatu tindak pidana, apabila seseorang tersebut menjadikan mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang-barang secara berhutang, dengan maksud tidak membayar lunas barang tersebut. Hal ini termuat dalam Pasal 397A KUHP dan Pasal 497 UU 1/2023. Dalam Pasal 397A KUHP, yakni “Barang siapa menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan untuk membeli barang-barang, dengan maksud supaya tanpa pembayaran seluruhnya memastikan penguasaan terhadap barang-barang itu untuk diri sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.” Serta dalam Pasal 497 UU 1/2023, yakni “Setiap Orang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli Barang dengan maksud untuk menguasai Barang tersebut bagi diri sendiri atau orang lain tanpa melunasi pembayaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Kesimpulan
Ketentuan utang-piutang dalam hukum pidana menegaskan hak setiap individu melaporkan sengketa utang piutang, walaupun tidak selalu dapat diproses ke pengadilan. UU 39/1999 tentang HAM Pasal 19 ayat 2 memastikan ketidakmampuan memenuhi kewajiban utang piutang tidak dapat menjadi dasar pidana. Meskipun demikian, seringkali sengketa utang piutang dilaporkan dengan dasar Pasal 372 dan 378 KUHP, padahal substansi perjanjian hukum perdata berbeda. Hukum pidana dapat diterapkan jika seseorang menjadikan membeli barang berhutang sebagai mata pencaharian tanpa maksud melunasi, seperti diatur dalam Pasal 397A KUHP dan Pasal 497 UU 1/2023. Berdasarkan hal tersebut, maka utang-piutang tidak dapat dikenakan ketentuan pidana. Akan tetapi, apabila seseorang yang dengan sengaja menjadikan mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang-barang secara berhutang, dengan maksud tidak melunasinya akan mendapat hukuman pidana.
Dasar hukum:
- KUHP.
- KUH Perdata.
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP.
Penulis:
TB Agung, SH.