KETAHUI PERUNDINGAN BIPARTIT SEBAGAI PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Sengketa dalam hubungan industrial merupakan tantangan serius yang dapat mempengaruhi produktivitas dan harmoni di tempat kerja. Secara yuridis kedudukan antara pengusaha dan pekerja adalah sama. Namun, pada realitanya terdapat ketidaksamaan kedudukan antara pekerja dengan pengusaha sehingga timbul suatu perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengenal dua penyelesaian perselisihan, yaitu penyelesaian secara wajib dan penyelesaian secara sukarela.  Kategori penyelesaian secara wajib adalah secara bipartit. Perundingan bipartit menjadi pendekatan yang efektif untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan antara pekerja dan pengusaha.

Menurut Pasal 1 angka 10 UU 2/2004, Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Terdapat beberapa jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana termuat dalam Pasal 2 UU 2/2004, yakni:

  1. perselisihan hak;
  2. perselisihan kepentingan;
  3. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
  4. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Apabila terjadi perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU 2/2004, wajib diselesaikan melalui perundingan bipartit secara musyawarah. Hal ini termuat dalam Pasal 3 Ayat (1) UU 2/2004. Dalam perundingan bipartit terdapat jangka waktu untuk penyelesaiannya, ketentuan ini dimuat dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Ayat (3) UU 2/2004, yakni Penyelesaian perselisihan melalui bipartit, harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

Dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Pada Pasal 6 Ayat (1) UU 2/2004 dalam rangka penyelesaian sengketa perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit, harus dibuat dalam risalah perundingan oleh para pihak yang melakukan perundingan. Kemudian dalam Pasal 6 Ayat (2), risalah perundingan paling sedikit memuat:

  1. nama lengkap dan alamat para pihak;
  2. tanggal dan tempat perundingan;
  3. pokok masalah atau alasan perselisihan;
  4. pendapat para pihak;
  5. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
  6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Dalam hal musyawarah dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.

Setelah dilakukan, perjanjian bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Lalu pendaftaran perjanjian ini diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

Jika pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. Hal ini termuat dalam Pasal 7 UU 2/2004.

Dalam sebuah perundingan terdapat perundingan yang berhasil maupun perundingan yang gagal. Apabila perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Kemudian jika bukti-bukti tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.

Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh. Serta Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Hal ini termuat dalam Pasal 4 UU 2/2004.

Kesimpulan

Dalam konteks penyelesaian perselisihan hubungan industrial, perundingan bipartit menjadi pendekatan yang efektif. Meskipun kedudukan hukum pekerja dan pengusaha sama, realitasnya seringkali menimbulkan ketidaksetaraan, memicu perselisihan. Undang-undang menetapkan bahwa perselisihan harus diselesaikan melalui perundingan bipartit secara musyawarah.

Terdapat kategori perselisihan, seperti hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan antar serikat pekerja. Jika perundingan gagal, pencatatan perselisihan harus dibuat, dan instansi ketenagakerjaan menawarkan opsi konsiliasi atau arbitrase. Kesepakatan yang tercapai dalam perundingan diwujudkan dalam Perjanjian Bersama, yang bila tidak dilaksanakan dapat diawasi oleh pengadilan. Proses ini membuktikan pentingnya perundingan bipartit dalam menciptakan penyelesaian yang adil dan berkelanjutan.

 

Dasar hukum:

UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Penulis:

TB Agung, SH.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top