SEPERTI INI KEDUDUKAN BURUH DALAM KEPAILITAN

Kepailitan sebuah perusahaan tidak hanya berdampak pada pemilik perusahaan dan kreditur, tetapi juga pada para pekerja atau buruh. Dalam konteks hukum Indonesia, kedudukan buruh dalam kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam UU 37/2004, buruh dianggap sebagai kreditur preferen atau kreditur yang didahulukan. Artinya, buruh memiliki hak istimewa dalam hal pembayaran upah dan hak-hak lainnya yang terkait dengan hubungan kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan bahwa hak-hak buruh harus diprioritaskan dalam proses pembayaran dari harta pailit. Menurut Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003, upah dan hak-hak lain dari buruh yang belum dibayar harus diprioritaskan dalam hal perusahaan dinyatakan pailit. Ini berarti bahwa sebelum aset perusahaan dibagi kepada kreditur lainnya, hak-hak buruh harus dipenuhi terlebih dahulu.

H.T. Sihombing dalam analisis yuridisnya menekankan bahwa meskipun buruh memiliki kedudukan yang istimewa, mereka sering kali masih berada dalam posisi yang lemah dalam proses kepailitan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman buruh terhadap hak-hak mereka dan proses hukum yang harus dilalui untuk menuntut hak tersebut.

Pada Pasal 39 ayat (2) UU 37/2004 dinyatakan bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Hal ini berarti apabila debitur perusahaan pailit tidak dapat membayar upah terutang, pesangon, dan hak-hak lain terhadap pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan dalam UU 13/2003 maka kewajiban tersebut masuk dalam kategori utang harta pailit, dan selanjutnya pekerja/buruh bertindak sebagai kreditur pailit.

Dalam Pasal 1134 KUH Perdata dijelaskan bahwa kreditur pemegang hak istimewa mempunyai tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berpiutang lainnya. Peluang hukum yang dapat menjadi dasar pekerja/buruh menyandang hak istimewa adalah Pasal 1149 KUH Perdata. Dalam Pasal 1149 KUH Perdata dijelaskan bahwa upah pekerja/buruh merupakan hak istimewa umum sehingga pelunasannya didahulukan.

Secara umum, perlindungan hukum bagi buruh dalam kepailitan mencakup beberapa aspek utama:

  1. Prioritas Pembayaran: Buruh memiliki prioritas dalam pembayaran upah dan hak-hak lainnya yang belum terpenuhi sebelum aset perusahaan dibagi kepada kreditur lainnya.
  2. Pengawasan Hakim Pengawas: Hakim pengawas memiliki peran penting dalam memastikan bahwa hak-hak buruh dipenuhi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
  3. Peran Kurator: Kurator bertanggung jawab untuk mengelola dan mendistribusikan aset perusahaan yang pailit, termasuk memastikan bahwa hak-hak buruh dipenuhi sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan.
  4. Pendampingan Hukum: Buruh dapat mencari pendampingan hukum untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dipenuhi dalam proses kepailitan. Pendampingan ini dapat membantu buruh memahami proses hukum yang rumit dan menuntut hak-hak mereka secara efektif.

Menurut Sihombing, meskipun buruh memiliki kedudukan istimewa sebagai kreditur preferen, sering kali mereka tidak memahami sepenuhnya hak-hak mereka dalam proses kepailitan. Oleh karena itu, penting bagi buruh untuk mendapatkan informasi dan pendampingan hukum yang memadai untuk melindungi kepentingan mereka.

Kesimpulan

Kepailitan perusahaan memiliki dampak signifikan terhadap buruh, yang memiliki hak istimewa sebagai kreditur preferen dalam hal pembayaran upah dan hak-hak lainnya. Meskipun demikian, buruh sering kali berada dalam posisi yang lemah dalam proses kepailitan karena kurangnya pemahaman terhadap hak-hak mereka dan proses hukum yang harus dilalui. Oleh karena itu, penting bagi buruh untuk mendapatkan informasi dan pendampingan hukum yang memadai untuk melindungi kepentingan mereka dan memastikan bahwa hak-hak mereka dipenuhi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

 

 

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Referensi

  1. Herri Swantoro, 2019, Hukum Perseroan Terbatas & Ancaman Pailit, Rayyana Komunikasindo: Jakarta.
  2. Susilo Andi Darma, 2013, Kedudukan Pekerja/Buruh dalam Perkara Kepailitan Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan dan Teori Keadilan, Jurnal Supremasi Hukum Vol. 2, No.1. Yogyakarta.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top